November 17, 2009

PELACUR...

Profesi di atas sama sekali tidak pernah terlintas menjadi hal yang perlu aku pikirkan selama ini. Tapi, tiba-tiba, ketika harus berhadapan dengan mereka dan duduk di satu meja yang sama, otak sayapun mulai bergolak.

Menurut saya, mereka adalah golongan wanita yang berani. Bagaimana tidak, … disaat kaum wanita yang lain harus mikir 1000 kali untuk ditiduri oleh orang lain, mereka berani menghabiskan malam-malam mereka dengan orang yang baru dikenalnya. Belum lagi jika ada pelanggan yang permintaannya aneh-aneh, mau yang posisi ajaib, mau yang pakai acara sadisme pukul memukul, nggak mau pakai kondom, dan lain sebagainya. Terlepas dari alasan mereka untuk melakukan hal tersebut karena butuh uang atau sekedar cari hiburan, kaum pelacur perlu diacungi topi, karena keberaniannya. Terlepas dari semua alasan di atas dan apakah mereka mendapat kepuasan dari melakukan pekerjaan itu, apakah mereka berpura-pura dalam melakukan pengekspresian gairahnya, atau apakah mereka melibatkan emosi dan perasaan mereka dalam melaksanakan kewajibannya, - semua itu hanya individu tersebut yang mengetahuinya – mereka memang punya nyali untuk mau ditiduri oleh klien yang berminat padanya.

Begitu banyak sisi yang bisa dikupas dari pekerjaan dan individu ini. Begitu banyak hal yang menarik yang bisa disimak, tetapi jarang ada orang yang berani untuk mengakui sisi keberanian seorang pelacur. Berani dalam arti mau menjalani hal yang tidak pernah dilakukan oleh banyak perempuan lain. Berani dalam arti mau melangkah dan menempuh semua sisi gelap pekerjaannya demi untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuannya.




Perempuan itu masih 8 tahun lebih muda dari aku, mungkin lebih. Aku tidak bisa menebak dengan pasti umurnya. Mungkin 19 atau 20. Make up yang dipakai untuk memoles wajahnya bisa jadi 1 meter sendiri. Sebuah kamuflase yang kasat mata. Badannya kecil dan mungil. Ia pun tidak tinggi. Berdiri disampingnya membuat aku merasa menjadi Si KOMO, tinggi, besar, dan mendominasi. Walaupun dia kecil, dia memakai blouse yang 2 nomor lebih kecil sehingga payudaranya terlihat jelas seperti mau meledak. Padahal dia tidak berpayudara besar untuk ukuran tubuhnya. Hmmm.. wanita dimana-mana sama, selalu bermanipulasi dengan kenyataan dan kondisi. Dia memanipulasi penampilannya dengan memakai baju 2 nomor lebih kecil!! -_-"

Sepatunya model yang trendy tetapi gaya sepatunya terlalu tua untuk umurnya. Belum lagi hak sepatu jungkik paling tidak minimal 5 centimeter lah. Tapi, tetap saja kalah tinggi dari aku, padahal aku tidak pakai hak. Tasnya bukan selera aku karena terlalu besar untuk perempuan ukuran dia. Dia berdandan dengan tujuan memperlihatkan kedewasaannya, tetapi disitu justru letak kelemahannya, dia memaksakan penampilannya bak wanita eksekutif, atau artis yang ( mau ) naik daun. Dia mencoba membuat kesan tersebut untuk menutupi sesuatu yang tidak ia dapat, entah itu identitas diri, entah itu kemewahan sebagai artis. Semua dibuat serba rapi, serba terselimutkan kemilau dari handphone, laptop, kalung, make up, bahkan secangkir kopi ekspreso..... buat aku, kesannya, overssszzz. Well, hanya melihat sekilas mataku bisa menangkap bahwa sepatu dan bajunya bukan keluaran butik dan tasnya produksi pabrik tas Tajur, Bogor.

Saat mulai bicara, aksen daerah masih kental di lidahnya. Mungkin dari daerah Sumatera. Pilihan katanya mencerminkan ia berasal dari latar belakang pendidikan yang agak rendah, di bawah SMA mungkin. Aku terbiasa berbicara dengan kaum pinggiran, dan dengan kebiaaan itu aku mampu menangkap background dari pembicara, sekeras apapun dia mencoba menutupinya. Dia mengaku masih mahasiswa, tapi kuliah di Jakarta pun membawa cap bahasa tersendiri yang hanya bisa ditangkap oleh orang Jakarta. Orang asing tidak akan bisa menangkapnya dengan benar. Mungkin, dia memang perlu berkamuflase mengaku mahasiswa kepada siapapun daripada mengaku bahwa sebenarnya dia pelacur. Mana ada pelacur ngaku pelacur……

Aku, sebagai manusia yang wajar dan normal ( ? ), juga tidak terlepas dari sisi ‘jijik’ kepada para pelacur itu. Duduk di depannya, satu meja lagi, terlintas juga pikiran apakah dia ‘berpenyakit’ karena telah tidur dengan banyak orang yang mungkin membawa penyakit buatnya. Apakah aku akan tertular? Perempuan ini berpakaian sangat overdress sekali untuk acara yang biasa, apakah orang lain memperhatikan dia karena cara berpakaiannya yang tidak pada mestinya? Uch…, waiter itu terus-terusan melihat kami dan berbisik kepada rekan kerjanya, hm.. kira-kira dia tau nggak ya kalau perempuan ini perek? Jangan-jangan mereka berpikiran aku ‘maminya’, uch.... kenapa aku bisa ada di kondisi seperti ini ya.., tau gitu tadi tak kuterima undangan makan malam temanku yang orang asing ini!!! Uppps.. tadi aku berjabat tangan dengannya, apakah nanti harus kucuci bersih tanganku karena menyentuh tangan kotornya…….. Acchh…, apakah aku lebih suci dari perempuan ini hanya karena aku tidak tidur dengan orang yang tidak pernah kutemui atau kukenal??? atau hanya meniduri seorang wanita saja?? Wah,… di sana ada temanku, mudah-mudahan dia tidak melihatku…, apa katanya jika melihat aku duduk disini satu meja dengan perempuan ini? ( bisa dikira aku putus asa sekali dalam kejombloanku ) Eh…, ternyata bukan aku saja yang merasa tidak enak karena duduk semeja dengannya, ternyata aku melihat diapun juga tidak nyaman. Dia tidak berani menatap mataku dengan pasti, dia selalu memindah-mindahkan tasnya, duduk tidak bisa tenang, berusaha mengikuti lirik lagu yang tengah dinyanyikan oleh band di panggung tetapi aku bisa melihat dia tidak hafal liriknya; hanya menggerak-gerakkan mulutnya agar berkesan bahwa ia menyanyi. Hmm… kenapa dia tidak nyaman?

Apakah pikiran-pikiran itu menjadi suatu awal dosaku dalam berprasangka buruk lebih dalam lagi, saya tidak jelas. Yang pasti, tiba-tiba aku mencoba membaca energi perempuan ini, karena biar bagaimanapun dia itu manusia juga yang punya permasalahan dan harus menghadapinya dengan tegar. Bisa jadi permasalahannya itu membuat dia mengambil jalan singkat menjadi pelacur. Hmm… jalan singkat. Suatu fenomena kota besar. Jalan singkat agar punya uang banyak. Jalan singkat agar bisa lebih populer. Jalan singkat untuk cari pacar. Jalan singkat cari kenikmatan sesaat. Dan 1001 alasan lain lagi yang membuat orang mengambil jalan singkat. Ada apa dengan dunia ini, semuanya mencari jalan singkat….. Hm…. Semua jadi serba ingin cepat dan instan.

Energi yang aku tangkap dari perempuan ini bukan hanya keberanian untuk nekad melakukan pelacuran, tetapi juga ketidak percayaan diri, rasa was-was, kebingungan mencari solusi atas suatu masalahnya, kenekadan untuk tetap ‘memiliki’ secara sementara terhadap lelaki yang membookingnya karena itu berarti ia mendapatkan security, entah apapun itu bentuknya dan dengan cara apapun agar si lelaki selalu puas dengannya dan tidak berpindah tangan.

Tiba-tiba saja aku ingin memasuki pikirannya, melihat dengan jelas apa yang terlintas di dalamnya. Apakah rasa malu dan sungkan itu masih ada di dalam pikirannya? Apa yang melintas ketika ia disetubuhi oleh lelaki yang baru ditemuinya, tetapi pada skala individu bukan merupakan lelaki idamannya, bukan lelaki yang dia suka? Apakah dia juga berpura-pura mencapai orgasmic point untuk membuat si lelaki itu puas dan senang? Entah bagaimana pula rasanya ketika ia meniduri lelaki yang membayarinya pada jam 11 malam dan jam 1 malam sudah harus melakukan hal yang sama kepada lelaki yang sama sekali berbeda. Bagaimana bisa melakukan persetubuhan dengan lelaki yang tidak dicintai? Apa rasanya ketika menerima pembayaran atas jasa yang dia lakukan? Apa rasanya ketika diminta untuk pulang di dini hari ketika jasa telah usai? Apa rasanya atau pikirannya ketika bertemu dengan orang lain di lobby hotel pada jam dini hari itu, terlebih ketika mereka tahu bahwa dia baru selesai dipakai? Dorongan atau alasan kuat apa yang membuat mereka mengambil jalan pintas tersebut? Apakah dengan melacurkan diri sudah membuat seseorang kehilangan harga diri?

Apapun getaran energi yang aku dapatkan, hampir semua lintasan pertanyaan itu bisa kujawab tapi tidak bisa diwakilkan dengan kata-kata. Dan satu hal yang patut dicontoh adalah keberanian mereka menjadi pelacur. Keberanian dia untuk berkenalan dengan orang asing yang tidak pernah ditemui sebelumnya, dan memasarkan dirinya dengan segala marketing strategy yang ia miliki, keberaniannya untuk loncat ke dalam suatu hubungan seksual satu malam saja terutama dengan orang yang baru dikenalnya, dengan resiko yang tidak kalah beratnya, dari penyakit menular, penyiksaan badan , tidak dibayar sampai ke resiko jatuh cinta kepada lelaki tersebut.

Keberaniannya itu dapat dilihat dari segala sisi, entah itu negatif atau positif. Sisi negatif bisa dilihat dari kacamata orang yang mengaku alim, yang mengatakan bahwa melacurkan diri bukanlah jalan terakhir untuk mendapatkan security (dalam hal ini uang, atau kekayaan) dan melacurkan diri bisa dianggap dosa. Sisi negatif juga bisa dilihat karena wanita dengan profesi pelacur dianggap sebagai sampah masyarakat, penggoda para pria. Manusia jarang melihat sebuah sisi positif dari pelacuran, terkadang malah cenderung dilupakan. Pelacur menghasilkan perempuan perempuan pemberani yang tegar menghadapi hidupnya. Mungkin saja mereka memilih profesi ini, daripada harus membunuh orang lain misalnya karena dapat membawa uang untuk dapur rumah tangganya agar anaknya tidak kelaparan sementara sang suami hanya berjudi atau tidak bekerja. Entahlah, apakah itu bisa dianggap suatu yang positif. Tetapi, yang pasti, keberaniannya itu telah mengilhami saya untuk membuat tulisan ini.

Untuk menempuh hidup ini, kita perlu keberanian. Bukan hanya keberanian untuk menjadi tua dan mati, tetapi juga keberanian untuk menempuh jalan yang tidak pasti dalam hidup ini, keberanian untuk membuka diri kita secara penuh atas kuasa Tuhan semata, keberanian untuk menerjang kehidupan, keberanian untuk menantang problema hidup, keberanian untuk mencari jati diri, keberanian untuk bisa mengakui dan mawas diri, keberanian untuk hidup dengan realitas yang ada.

Tidak semua orang bisa dianggap berani. Jagoan pasar yang kerjanya membacok orang lain saja mungkin tidak berani jika harus berhadapan dengan ketidak pastian. Manusia pun punya tendensi untuk menghindari tanggung jawab dan lari dari permasalahan. Dituntut suatu keberanian yang dahsyat untuk berani mengatakan dengan jujur kekurangan pada diri kita. Diperlukan suatu dorongan keberanian yang hebat untuk bisa berdebat dengan hati nurani kita sendiri secara jujur. Tidak semua orang punya hal tersebut.

Manusia itu mahluk paling licik, even dengan dirinya sendiripun ia masih mampu berbohong. Ia masih dapat mencari dalih. Ia masih mencari alasan untuk pembenaran. Dan ini semua karena ego-nya yang tidak bisa dikalahkan. Dan diperlukan keberanian untuk dapat mengalahkan ego tersebut.





Vien
* Isolate your Insecurity, OR.. your Insecurity will Isolate you !! *

2 Comments:

Herdina K said...

Wow.. artikel yang keren.
sempet speechless juga bacanya..
kebetulan sekarang Aku lagi dengerin lagu Java Jive - Gadis Malam.
Pas banget sama artikel ini.

Vien said...

Thank you.. :D

tetap nantikan artikel dari HerLounge ya.. :D