May 21, 2011

PRESS RELEASE: Gay, Lesbian, Bisexual and Queers Take Stage on ASEAN People’s Forum / PERNYATAAN PERS: Gay, Lesbian, Biseksual dan Queers Mengambil Bagian dalam ASEAN People’s Forum (APF)

Jakarta, 4 May 2011

For Immideate Release

For the first time in the history of ASEAN Civil Society Conference, group of lesbian, gay, bisexual, trans people, intersex and queer people's (LGBTIQ) rights are being highlighted.

They come in the form of a workshop of Promotion and Protection of human rights so called LGBTIQ in ASEAN, that presented the situation, challenges, achievements and demands made by the groups.

ASEAN is the birthplace of the Yogyakarta Principles on the Application of International Human Rights Law in Relation to Sexual Orientation and Gender Identity (SOGI). Yet, LGBTIQs in ASEAN face gross abuse of their rights and are consistently abused, discriminated, persecuted and criminalized because of who they are, perpetrated by both state and non-state actors. In some instances, laws that are neutral in nature, such as anti-kidnapping laws, public obscenity laws and anti-drug laws are also used unfairly to target LGBTIQ community. Lack of recognition of their self-autonomy also results in transgender persons not being allowed to have sex reassignment surgeries, change their sex on official documents and seek proper medical assistance. Due to the lack of recognition of their legal rights, many LGBTIQs find themselves without legal recourse to seek redress for crimes and abuses committed against them.

Though, activists have successfully created spaces and movements to promote LGBTIQ rights, such as pride parades in the Phillippines, Pink Dot gathering in Singapore, Seksualiti Merdeka in Malaysia, Phnom Penh Pride in Cambodia, Q Film Fest in Indonesia, Sexual Diversity Day in Thailand, and others. Many countries also commemorate occasions such as International Day Against Homophobia (IDAHO).

As such, the ASEAN LGBTIQ caucus, with feedback from the workshop audience, and in recognition of the limitation of the format, made the following three recommendations to governments of ASEAN:

1. Repeal laws that directly and indirectly criminalize SOGI, recognize LGBTIQ rights as human rights, and harmonize national laws, policies and practices with the Yogyakarta Principles.

2. Establish national level mechanisms and review existing regional human rights instruments (AIHRC, ACWC) to include the promotion and protection of the equal rights of all people regardless of SOGI with the active engagement of the LGBTIQ community.

3. Depathologize SOGI and promote psychosocial well-being of people of diverse SOGI in accordance with the World Health Organization (WHO) standards, and ensure equal access to health and social services.



Jakarta, 4 May 2011

Untuk dipublikasikan

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Konferensi Masyarakat Sipil ASEAN, hak-hak kelompok lesbian, gay, biseksual, trans people, interseks dan queer (LGBTIQ) diangkat. Mereka berdiskusi dalam workshop Promosi dan Perlindungan hak-hak azasi manusia kelompok-kelompok yang disebut LGBTIQ di ASEAN, yang mendiskusikan situasi, tantangan-tantangan, capaian, dan tuntutan-tuntutan yang disusun oleh kelompok tersebut.

ASEAN adalah tempat kelahiran Prinsip Yogyakarta mengenai Penerapan Hukum-hukum HAM Internasional dalam kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender (SOGI). Hingga saat ini LGBTIQ di ASEAN masih menghadapi pelecehan yang jahat atas hak-hak mereka dan terus menerus dilanggar, didiskriminasi, dihukum, dan dikriminalisasi atas dasar siapa mereka, yang dilakukan baik oleh aktor negara maupun non negara. Beberapa contoh, hukum yang asalnya netral, seperti hukum anti-penculikan, hukum tindakan mesum di muka umum, dan hukum anti-obat-obatan juga digunakan secara tidak adil untuk menargetkan komunitas LGBTIQ. Kurangnya pengakuan terhadap otonomi-diri sendiri juga membuat individu transjender dilarang melakukan operasi ganti kelamin, mengganti jenis kelamin mereka di dalam dokumen-dokumen resmi dan mencari layanan medis yang layak. Karena kurangnya pengakuan terhadap hak-hak hukum mereka, banyak kaum LGBTIQ berada dalam situasi tanpa perlindungan hukum untuk mencari keadilan atas kejahatan dan pelecehan yang mereka alami.

Namun demikian, para aktivis telah sukses menciptakan ruang dan pergerakan untuk mempromosikan hak-hak LGBTIQ, seperti parade kehormatan di Philipina, pertemuan Pink Dot di Singapura, Seksualiti Merdeka di Malaysia, Phnom Penh Pride di Kamboja, Q Film Festival di Indonesia, Hari Keragaman Seksual di Thailand, dan lain-lain. Banyak negeri juga merayakan peristiwa-peristiwa seperti Hari Melawan Homophobia Internasional (International Day Against Homophobia-IDAHO) .

Dengan demikian, kaukus LGBTIQ ASEAN, atas dasar masukan dari peserta workshop, dan dengan mengakui atas keterbatasan formatnya, membuat tiga rekomendasi pada pemerintah-pemerintah di ASEAN:


1. Mencabut peraturan-peraturan yang secara langsung maupun tak langsung mengkriminalisasi SOGI; mengakui hak-hak LGBTIQ sebagai hak azasi manusia, dan mengharmonisasi hukum-perundangan nasional, kebijakan-kebijakan dan praktek-prakteknya sesuai dengan Prinsip Yogyakarta.

2. Menetapkan mekanisme-mekanisme di tingkat nasional dan meninjau instrumen-instrumen regional HAM yang berlaku saat ini (AIHRC, ACWC) menyertakan promosi dan perlindungan terhadap hak-hak yang sama bagi semua rakyat termasuk SOGI dengan keterlibatan aktif komunitas LGBTIQ.

3. Tidak lagi menganggap SOGI sebagai penyakit dan mempromosikan kebahagiaan psikologis keragaman SOGI sesuai dengan standar WHO, dan menjamin akses setara atas kesehatan dan layanan sosial.