June 04, 2010

Bilang apa lagi dunkkk...

Pernah mengalami saat di mana benar-benar buntu, tidak tahu harus bilang apa lagi, tidak tahu harus bilang dengan cara apa lagi untuk pendapat kita didengar? Hal ini sering sekali terjadi waktu kita bicara dengan orang tua, kakak, senior, atau atasan kita. Padahal apa yang kita mau sampaikan itu benar-benar hal “penting”, dan hanya karena faktor umur, pengalaman, senioritas, dan ego (cihhhh..) semua pendapat kita langsung digugurkan bahkan didengar pun tidak.

Beberapa minggu lalu, ketika saya mendengar seorang senior saya sedang berbicara tentang sepatu yang dia mau buat, saya lantas bebicara “ooohhh.. sepatu proyek..” dan langsung saja saya disemprot “iya gua tau ini sepatu proyek, ga usah dikasih tau lagi, dan kalau elu seorang hiker lebih dari gua, seorang rafter lebih dari gua, elu baru boleh ngomong! TITIK!”. Wowww saudara-saudara.. padahal saya ingin memberi tahu kalau di Senen dan di Pulo Gadung banyak terima pesenan, karena saya pernah 3 tahun kerja di kontraktor yang kerjaannya purchasing ngurusin ratusan sepatu buat buruh.

Hal ini tidak membuat saya marah atau kesal, hanya sedih saja. Lalu bagian tubuh saya yang bernama “OTAK” entah mungkin dia mau kerjaan tambahan (yang sangat tidak diperlukan saat ini) dengan santainya mulai bertanya “Kenapa sih orang itu sulit sekali untuk mendengar?”  hayooo kenapa kira-kira? *otak saya mulai jahil*. Jiaaahhhh lebayyyy hahahahaha.


Inilah kira-kira laporan rekap hasil perbincangan:
1. Terburu-buru mengambil kesimpulan: kita baru berbicara ½ jalan, dah diambil kesimpulan dan ini malah membuat kita jadi malas untuk terbuka.
2. Tidak sabar: karena kecepatan otak meramu kata-kata itu 650 kata/menit, sedangkan kecepatan mulut meramu kata-kata hanya 150 kata/menit (berdasarkan kelas COL yang saya ikuti), dari ini saja sudah terlihat bedanya jauhhhhh sekali. Jadi kadang kita tidak sabar mendengar orang berbicara sama kita
3. Kesombongan: merasa tahu apa yang dibicarakan, padahal ketika kita berbicara artinya kita tahu sesuatu, tapi ketika kita mendengar kita akan mengetahui apa yang orang lain rasakan atau butuhkan.

Jadi mendengar itu sebenarnya adalah bentuk ungkapan penghargaan terhadap orang lain, bentuk menghormati dan menyayangi seseorang. Mendengar di sini bukan hanya mendengar masuk telinga kiri keluar kanan, tapi mendengar dengan penuh kesadaran dan hati (menyimak).

Dan tahukan kapan kamu harus mulai belajar mendengar dengan benar? Ketika teman teman mu satu demi satu mulai menjauhi mu! Jadi jangan salahkan teman-temanmu bila mereka menjauh darimu, mungkin kamu sudah kebanyakan berkoar-koar dengan arogan tanpa mau mendengar.

Jadi ketika kita sedang menghadapi orang yang tidak mau mendengar (seperti yang sedang saya alami sekarang), ini adalah tantangan bagi saya untuk bisa tetap rendah hati dan tersenyum, serta pembelajaran untuk saya lebih bijak dalam hal mendengarkan orang lain yang berusaha berbicara dengan saya. Sebuah proses kedewasaan yang tidak akan pernah sempurna secara utuh. Karena kedewasaan seseorang hanya bisa diberikan oleh orang lain, bukan diri kita sendiri. Ber-statement “Saya rasa saya cukup Dewasa mengingat semua pengalaman dunia, pengalaman berteman, pengalaman berorganisasi, pengalaman berpacaran…dll” itu sama MENYEDIHKANnya dengan statement “Saya rasa saya cukup BerAgama”.


Vien,
*yang sedang belajar untuk menutup mulut dan membuka telinga*




Footnote:
COL : Community of Leadership