September 07, 2010

Maaf = Resume atau Restart?

Bulan puasa & Lebaran selalu identik dengan perbaikan sikap diri & saling memaafkan. Kebetulan banget udah beberapa waktu gue kepikiran untuk nulis tentang 'maaf' dan rasanya momen ini pas banget.

Kita tau ngga ada manusia sempurna karena setiap orang punya batasannya, makanya kita selalu belajar untuk berbesar hati meminta maaf dan memaafkan. Seringkali 'maaf' ini dianggap seperti tombol 'resume', 'resume' apa sih? Dalam konteks ini 'resume' itu kalo habis di 'pause' trus di 'play' lagi, nah itu namanya 'resume'. 'Resume' kurang lebih artinya 'dilanjutkan' seperti apa adanya waktu dihentikan sementara sebelumnya.

Banyak yang beranggapan setelah minta maaf lalu semua akan kembali seperti semula, seperti sebelum ada kejadian yang perlu dimintakan 'maaf'. Sayangnya, kadang hati tidak bisa diperlakukan sesederhana itu. Seberapa sakit perasaan orang, seberapa kecewa, seberapa besar kepercayaannya yang hilang, seberapa keras dia harus berjuang menghadapinya; Kita ngga pernah tau. Kita juga ngga berhak menuntut untuk dia jadi biasa aja lagi ke kita kalau memang dia ngga bisa.

Menurut gue, 'maaf' itu penting tapi ngga pantas diumbar dan ngga selalu berarti 'resume'. Antara memaafkan / tidak dan keputusan sikap kita kepada seseorang setelahnya adalah dua hal yang terpisah. Setiap orang berhak untuk dimaafkan, karena kita juga pasti mengharapkan hal yang sama. Tapi apa kemudian membuat semuanya kembali seperti semula? Tidak selalu. Minta maaf / memaafkan dengan tulus tapi kemudian tidak lagi berteman, boleh? Boleh saja, kenapa tidak?

Memaafkan adalah proses pendewasaan bagi masing-masing individu yang terlibat. Masih banyak orang yang sulit meminta maaf / memaafkan hanya karena ego / gengsi. Mereka melupakan esensi 'maaf' itu sendiri yang sebetulnya untuk meringankan, bukannya semakin membebani.

'Maaf' memang tidak selalu 'resume' tapi pasti selalu 'restart' karena kebesaran & kejujuran hati akan membuka lembaran baru yang lebih baik, apapun keputusannya.