December 29, 2010

Laporan dari Pemutaran Film "MINGGU PAGI DI VICTORIA PARK" dan Diskusi


Tgl : 17 Desember 2010
Tempat : Newseum Café (jl. Veteran I/30 (dekat stasiun Gambir, belakang Mesjid Itiqlal), Jakarta)
Jam : 15.00- 18.30

Dalam rangkaian hari HAM (10 Desember) Herlounge, Woman Economic Justice Alliance, Indonesia Berdikari, Kartini Network dan Federasi Apik mengadakan Pemutaran Film “MINGGU PAGI DI VICTORIA PARK” karya Lola Amaria. Dilanjutkan dengan diskusi dengan tema “Perbudakan Abad 21”, yang di moderator oleh Amalia Pulungan dengan pembicara Nursyabani Katjasangkana dan Mariana Amirudin.

Film ini bercerita tentang kehidupan buruh migrant di Hong Kong dengan semua permasalahannya. Pahlawan devisa kita yang dalam kontrak kerja nya mau tidak mau harus merelakan gaji 7 bulan pertama mereka kepada “AGEN” berkedok penyalur tkw resmi Negara. Saya pribadi bisa membayangkan, jika saya untuk pertama kalinya di negeri asing dan tanpa uang selama 7 bulan! Sebutannya saja Pahlawan Devisa tapi kenyataanya adalah tak lebih dari sebuah KESETAN alas kaki.


Dari diskusi kita mendapatkan istilah 3D ; Dirty, Danger and Demanding yang mengambarkan kehidupan nyata para buruh migrant. Dirty ; karena memang yang dikerjakan mereka bukan pekerjaan kantoran, melainkan pekerjaan rumah tangga. Danger ; karena mereka sangat rentan terhadap kekerasan (bahkan tidak di gaji selama 7 bulan pertama itu adalah syarat). Demanding : karena buruh kita di gaji dengan murah, oleh karena itu permintaannya sangat tinggi.

Dari sini saya berpikir kenapa Pendidikan di Indonesia tidak maju maju? SIMPLE, karena pemerintah nya tidak mau untuk memajukan pendidikan. Lebih baik Warga Negara Indonesia di didik rendah lalu dikirim sebagai buruh migrant dan menjadi penghasil devisa!

Sistem Indonesia sangat tidak responsive, contoh nya saja di daerah perkebunan tapi kenapa malah tidak ada pabrik? Daerah Kerawang yang terkenal dengan sebutan “Gudang Beras” tapi malah perempuan perempuan daerah kerawang hamper semuanya menjadi buruh migrant. Mereka sama sekali tidak mendapatkan manfaat dari sebuah julukan “Gudang Beras”. Malah yang bekerja pada “Gudang Beras” tersebut rata rata perempuan perempuan dari daerah lain, karena syarat yang di tetapkan untuk bisa bekerja min lulusan SMA bukan lulusan pesantren. Jadi ada industrisiasi tapi sumber pendidikan nya rendah, sehingga system pendidikan di Indonesia bisa disimpulkan sangat tidak responsive.

Bisa dibayangkan seorang dengan pendidikan yang tidak memadai, di kirim kerja tanpa di gaji selama 7 bulan pertama dan tetap menanggung beban sebagai tulang punggung keluarga di desa. Yang terjadi adalah mereka terjerat hutang dengan bunga yang sangat tinggi. Seperti di gambarkan di film ini, dimana seorang buruh migrant yang terbelit hutang dengan suku bunga mencekik, dan passport di tahan sehingga tidak bisa kembali ke Indonesia dan tidak bisa memperpanjang ijin kerja, pada akhirnya harus bekerja serabutan bahkan menjadi wanita penghibur. Bahkan ada seorang buruh migrant yang pada akhirnya buruh diri melompat dari jembatan karena putus asa dengan lilitan hutangnya.

Jelas sekali isu HUTANG sangat kompleks. Pemerintah bisa membuat peraturan peraturan tentang ketenaga kerjaan, tapi tidak membuat peraturan yang bisa melindungi buruh migrant kita dari isu hutang yang mengakibatkan bunuh diri, buruh illegal, sampai woman trafficking.

Victoria Park sendiri di hongkong adalah sebuah taman yang pada hari minggu, di penuhi oleh para buruh migrant sebagai tempat rekreasi dan sosialisasi. Di tempat itu mereka mengadakan pertukaran informasi hingga pertunjukan kuda lumping. Sehingga tidak di perlukan seorang Menteri Kebudayaan untuk datang ke Hong Kong memperkenalkan kebudayaan Indonesia, karena buruh migrant tersebut sudah melakukan nya dengan sangat baik, dari bahasa (jawa) hingga kebudayaan.

Sebagai Duta Devisa dan Duta Budaya, seharus nya pemerintah apalagi para wakil wakil dewan terhormat yang gajinya di gaji dari keringat para buruh migrant. Sebelum menjadi anggota dewan harus jadi buruh migrant dulu sebagai syarat utama! Jadi bisa merasakan, ga Cuma membayangkan dan membuat peraturan seenak udel nya dewe.

Sudah saat nya isu perempuan dan hutang menjadi perhatian Negara ini.


Saya sangat berterima kasih pada semua teman teman dan semua pihak yang sudah hadir dan mendukungan acara ini. Sampai bertemu di acara selanjutnya.. ^^



Vien.

Acara dan pameran juga didukung oleh Kalyanashira, Yayasan Jurnal Perempuan, Debt Watch , YSIK,Voice of Human Rights Radio, Penerbit Komunitas Bambu, Komunitas Jadoel (Warung Barang Antik), dan JIVE Production.

Tweets me : Vien_Tanjung